PROBOLINGGO - Lora Muhammad Hasyim Zaini merupakan panggilan akrabnya, KH. Muhammad Hasyim Zaini putera dari Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Kiai Hasyim sebenarnya adalah putra kedua dari pasangan Kiai Zaini Mun’im dan Nyai Nafi’ah. Kiai Hasyim memiliki kakak bernama Dzahirah yang meninggal sewaktu bayi. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim memiliki adik yang meninggal pula saat kecil Bernama Mursyidah. Beliau sangat menyayangi adiknya yang menjadi teman sepermainan. Kiai Hasyim ikut merasakan sulitnya perjuangan yang dilakukan abahnya saat melawan penjajah Belanda.
Pada tahun 1947, meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan dan kedaulatannya. Namun perang masih terjadi di berbagai daerah, diantaranya di Sumenep dan Pamekasan. Berbeda dengan di Sumenep, kondisi belanda agak melemah di Pamekasan sehingga Mayor Mangkudiningrat Bersama dengan Kiai Zaini Mun’im dari Galis yang termasuk salah satu pimpinan Hizbullah memimpin perang gerilya. Strategi tersebut berhasil memukul mundur Belanda ke Kota Sampang.
Seiring waktu, Belanda berhasil melumpuhkan Sumenep yang merupakan pusat tentara Indonesia, makai a turut menjadi petaka bagi Pamekasan. Belanda telah berhasil membakar Pesantren Panggung Galis, sehingga Kiai Hasyim Zaini dibawa berlayar oleh Kiai Zaini Mun’im bersama Kiai Zawawi Mun’im (adik kandungnya) dan Ustaz Sarodji menuju Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo.
Saat berada di Paiton, Probolinggo, Kiai Hasyim Zaini mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya dari ayahanda dan ibundanya. Sebagai seorang putra Kiai Hasyim Zaini sangat tunduk dan patuh pada orang tuanya, dan sebagai seorang murid, selain memiliki kecerdasan yang sangat tinggi, ia juga sangat tekun belajar pada tiap materi pelajaran serta sangat telaten.Tak jarang ditemukan catatan pinggir dalam kitab-kitabnya tentang sebuah keterangan atau petuah-petuah dari guru-gurunya, termasuk dari ayahandanya.Bahkan semboyan yang terus diungkapkan adalah, man kutiba karra wa man sami’a farro (barang yang ditulis akan kekal, tapi jika hanya didengar akan hilang).
Kiai Hasyim pula belajar membaca Al-qur’an. Pada mulanya Kiai Hasyim belajar ngaji alqur’an kepada ayahandanya sendiri, Kiai Zaini Mun’im dan saat ayahandanya mengajar santri, Kiai Hasyim selalu ada di dekatnya. Setelah itu, Kiai Hasyim melanjutkan belajarnya di Madrasah Manhulun Nasiati Islamiati yang diasuh Ustaz Hamid al-Habsyi, Pengasuh Pesantren Nurul Qur’an, Kraksaan. Di Pesantren ini, Kiai Hasyim belajar membaca Al-qur’an. Ibarat kafila yang hanya meneguk secangkir air, rasa dahaga tak akan berakhir. Setelah itu, Kiai Hasyim melanjutkan belajarnya di Pesantren Darul Ulum Jombang, disini beliau seangkatan dengan almarhum Nurcholis Madjid (Caknur) Cendikiawan Muslim yang pernah memimpin Universitas Paramadina, Jakarta.
Di Paterongan, Jombang ini, Kiai Hasyim banyak berguru, diantaranya pada Kiai Bisri Cholil, Mbah Said, Ustaz Mahfudz dan Ustaz Muntaha serta pada Kiai Dahlan Kholil.Disamping itu, Kiai Hasyim mengikuti tarekat naqsabandiyah qodariyah yang dipimpin langsung oleh Kiai Musta’in Romli, selanjutnya Kiai Hasyim nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri di bawah asuhan Kiai Kholil Nawawi. Di Sidogiri, Kiai Hasyim dikenal sosok yang sangat cerdas dan kecerdasannya ini mendapatkan pengakuan langsung dari Kiai Kholil.
Meskipun sudah kembali ke Pesantren Nurul Jadid pada tahun 1962, Kiai Hasyim tak pernah puas dalam belajarnya. Terbukti beliau melanjutkan pendidikan pada jenjang lebih tinggi yaitu Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU) yang ketika itu ketuanya dipegang langsung Kai Zaini Mun’im ayahnya sendiri. Pada saat menjadi mahasiswa, Kiai Hasyim sangat tekun belajar, dan tidak ada satupun penjelasan dosen yang tidak dicatatnya. Karena bagi Kiai Hasyim kalau tidak mencatatnya, ia akan ketinggalan. Kiai Hasyim dalam ilmu pengetahuan agama beliau mengajar dan dalam ilmu pengetahuan umum beliau belajar.